A clown kill someone to pay bill for his mom

Tawa dan Tangis, sebuah cerita biasa

Pagi itu tampak biasa saja, tidak ada yang berbeda, tidak ada yang aneh. Seorang pemuda menemani ibunya yang terbaring di tempat tidur. Ibunya menampakkan wajah tidak nyaman meski sedang tidur dengan nyenyak. Seorang pria paruh baya berjubah putih masuk ke ruangan itu dan mengganggu pemuda itu yang masih memandangi ibunya sambil menangis.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” sahut pemuda itu.
“Maaf Pak, semua sudah kami lakukan tapi rumah sakit ini fasilitasnya masih kurang untuk ibu Anda, saya sarankan membawa ibu Anda ke kota”.

Pemuda itu ingin membalas perkataan pria itu, namun terhenti. Dia tahu diri, hanya karena dia pengguna kartu bantuan kesehatan, dia bisa ada disini, dan jelas susah baginya menuntut lebih kepada pria itu. Dia hanya bisa menangis, meski teringat kata- kata ibunya kalau pria tidak boleh menangis. Pemuda itu mencoba menghapus air matanya. Dia berpamitan kepada ibunya yang masih tertidur.
“Bu, bertahan dan semangat ya, doakan hari ini anakmu ini dapat rejeki yang cukup untuk membawa ibu ke kota”. katanya lirih sambil memegang tangan ibunya yang telah berkerut.
“Dok, mohon bantuannya, saya tahu saya hanya bisa memohon kepada dokter”.
“Ya Pak, kami akan akan mengusahakan sebaik mungkin, dan berdoalah sehingga Sang Pencipta membantu menyembuhkan ibu Anda”.

Setelah berpamitan pada ibunya, pemuda itu pergi ke tempat berkumpulnya para manusia silver, untuk mengambil cat dan mulai bersiap untuk pekerjaannya.
“Gimana kabar ibumu? ga kamu relain aja? buat setoran aja susah” pertanyaan- pertanyaan yang hampir setiap hari diucapkan “teman- temannya” setiap bertemu sebelum mereka dibagi- bagi dan dipencar ke banyak titik. Pemuda itu tidak terlalu menghiraukan mereka sambil mengoleskan cat silver dari kaleng yang tak jelas merknya. Mukanya yang panas karena cat sudah tak terasa sejak lama. Mungkin yang sampai sekarang terasa baginya adalah berat untuk membuka mata dan mulutnya setelah ditutup cat, tapi tak apa setidaknya dia jadi tidak perlu menjawab pertanyaan “teman- temannya”.

Setelah pemuda itu mendapatkan “jatah pangkalan” yang sudah dibagi- bagi oleh “boss”, berjalanlah ia ke “tempat penugasannya”, memang terasa sedikit berat melangkah sambil cat tertutup di seluruh badannya, setidaknya untuk langkah- langkah awal. Tidak lama sampai dia mulai lancar melambaikan tangannya sekedar mencoba menghentikan kendaraan yang berlalu lalang, atau beberapa kali berpose layaknya binaragawan meski hanya kulit yang menutup daging yang bisa dia tunjukkan. Banyak mereka yang mengabaikannya, beberapa memberikan recehan sekedar untuk mengusir pemuda itu, beberapa juga hanya menertawakan ketika melihat dia yang tertutup cat di tengah terik matahari.
“Kenapa harus silver sih, dicat ga dicat juga ga ngefek kali Mas” ucap beberapa anak muda yang mencibirnya, sambil memacu mobil yang nampaknya baru dibelikan orangtua mereka.
“Ma orangnya mirip robot, lucu” seru anak- anak yang melihat dia sambil kegirangan. Pemuda hanya diam sambil terus berusaha menghibur mereka sebisanya.

Hari itu berlalu seperti biasanya, dengan badannya yang masih tertutup cat, melangkahlah pemuda itu ke suatu warung kecil di ujung gang. Nampak ibu penjual sudah mengenalnya dan menyiapkan makanan yang ia pesan tiap hari. Ibu penjual itu tahu, pemuda ini setiap hari mencari rupiah di jalan untuk mengobati ibunya yang semakin hari tak kunjung membaik sejak 3 bulan dirawat.
“Ini buatmu, nasinya ibu tambahin dobel, kayanya kamu banyak nangis pagi ini, gimana Ibumu?” kata ibu penjual sambil membawa sepiring nasi dan tempe orek pada pemuda itu.
“Terimakasih banyak Bu, Ibu belum membaik, dan butuh dibawa ke kota Bu” sahut pemuda itu pelan.
“Maaf ya, saya juga ga bisa bantu kamu, suami saya juga udah berapa bulan nganggur, paling cuma bisa bantu makan biar kamu semangat cari duitnya, dan saya juga doakan Ibu kamu cepet sembuh”
“Tidak apa Bu, ini aja sudah makasih banget ada orang sebaik Ibu mau bantuin saya, moga- moga suami Ibu cepet dapet kerjaan lagi ya” Ucapnya sambil berbinar.
“Anak yang sayang sama Ibunya pasti dibalas sama Yang Diatas, moga- moga anak saya gedenya kaya kamu, sayang sama ibunya. Oiya, cepet dimakan nasinya biar kamu bisa cari duit lagi” Kata Ibu itu, sambil pemuda tadi mengangguk dan melanjutkan makannya dengan lahap.

Televisi tabung di warung tampak menampilkan sebuah berita tentang sebuah film yang sedang populer saat ini. Sebuah film yang mempopulerkan kata depresi, sebuah kata yang jadi sering dipakai dikalangan anak muda, yang mengaku depresi setelah baru putus dengan pacar setelah tiga hari bersama, kehilangan barang kesayangannya, ataupun mendapat nilai ulangan jelek. Sebuah film tentang seorang badut yang menjadi kriminal dan pembunuh, yang bahkan sampai membunuh ibunya di rumah sakit, dan orang di stasiun televisi. Pemuda itu hanya menonton tayangan itu sambil lalu, karena nikmatnya sesuap nasi lebih nikmat dibandingkan tayangan- tayangan itu.

Pemuda itu melanjutkan kerjanya setelah menghabiskan makanannya, sampai akhirnya jalanan mulai sepi. Setelah menyelesaikan setoran dan urusan hari itu, bergegaslah ia kembali ke rumah sakit, karena dia juga tahu, daerah sekitar rumah sakit tidak aman jika sudah terlalu malam. Di jalan itu, hanya ada penodong yang sudah menunggu jatah orang- orang lemah, perampas yang tidak akan peduli ibunya sedang sekarat. Maka sampailah dia dirumah sakit, dimana dokter mengabari kalau kondisi ibunya memburuk. Dengan inisiatif dokter tersebut, baru saja ibunya diantar ke rumah sakit kota untuk pertolongan secepatnya. Pemuda itu tidak memiliki ponsel, sehingga dokter atau rumah sakit tidak dapat mengabarinya.

Pikiran si pemuda menjadi kacau, dia hanya bisa berlari ke pojok rumah sakit dan menangis. Dokter memang berinisiatif mengantar ibunya. Tapi kata dokter, di rumah sakit kota, pembayaran harus dilakukan secepatnya untuk dapat dilakukan operasi karena nyawa ibunya sedang terancam. Dilihatnya uang disakunya yang tidak seberapa, maka dia bergegas keluar, pikirannya dia ingin meminta ke “boss” untuk minta jatah kerja malam sehingga uangnya akan bertambah. Naas dalam perjalanan pemuda itu dihadang oleh seorang penodong. Jelas pemuda itu sudah tidak memiliki energi jika harus melawan penodong itu setelah seharian bekerja, terlebih jika membandingkan otot- otot penodong itu dan dirinya yang hanya kulit menutup tulang.

Penodong mengacungkan pisaunya untuk mengancam pemuda itu
“Aku tidak punya uang, kau tak lihat aku juga orang susah?”
Namun penodong itu tidak peduli, dia sebenarnya sering melihat pemuda itu keluar masuk rumah sakit, yang dia tahu pemuda itu pasti punya uang untuk bisa masuk ke rumah sakit. Karena pemuda itu bersikeras, maka diambillah langkah oleh penodong untuk menusuk pemuda itu sekedar menakut- nakuti.

Pisau ditangkap oleh tangan pemuda itu, dia menjerit kesakitan, dan tanpa sengaja pisau terlepas dari genggaman penodong itu karena kaget. Sekarang kondisi berbalik, meski tangannya terluka, pemuda itu memegang pisau. Hanya sepersekian detik pemuda itu teringat adegan film dari berita yang dilihatnya, dan karena jarak cukup dekat dengan penodong itu, maka ditusukannya pisau ke penodong itu. Pisau menembus perutnya, dan penodong itu berteriak. Pemuda itu belum puas akan hal itu, dan menusuk lagi penodong itu sampai darah mengalir dimana- mana.

Sambil masih setengah sadar akan hal yang baru dilakukannya, tersungkurlah pemuda itu kebelakang. Dia mengamati hal yang baru saja dilakukan. Itu adalah pembunuhan pertamanya. Dia ingin memastikan penodong itu, jelas dia sudah tidak bernyawa lagi. secara tidak sengaja keluar beberapa barang dari saku celana si penodong itu. Kalung emas. Seketika hasutan jahat memenuhi pemuda itu.
“Apabila aku tidak mengambilnya, orang lain akan mengambilnya”. Pemuda itu setengah takut mengecek saku celana celana dan menemukan lebih banyak dari yang dia harapkan. Tawa memenuhi dirinya, dia tidak peduli asal barang- barang itu. Dengan ini Ibunya bisa selamat, pikirnya. Maka dia mencari ke saku celana lain, juga tempat lain yang memungkinkan penodong itu menyimpan semua rampasannya.

Lalu berlarilah pemuda itu sambil tersenyum kegirangan ke rumah sakit, kalung emas, uang yang tak ia hitung jumlahnya, sudah ia bawa di kantongnya, dan juga dalam genggamannya. Ketika sampai, beberapa pasien dirumah sakit panik karena pemuda itu penuh dengan darah, satpam- satpam yang sudah menjadi sahabatnya tidak terlalu memikirkannya karena menganggapnya hanya cat untuk dia bekerja. Dokter yang merawat ibunya segera mendatanginya cepat- cepat, tanpa peduli darah yang berceceran di rumah sakit karena pemuda itu. Dokter itu berkata sebelum pemuda itu ingin menyampaikan bahwa dia sudah membawa biaya operasi ibunya.
“Mohon maaf Pak, tapi Ibu Anda, telah tiada, terlambat bagi rumah sakit di kota untuk menanganinya”.
Mendengar itu, bukan tangis yang pecah di wajah pemuda itu, namun pemuda itu malah tertawa dengan sangat keras, sebuah tawa yang familiar, mirip sebuah tawa yang pemuda itu dengar dari cuplikan film di berita tadi. Sekarang dia tahu, depresi itu apa.

Terinspirasi dari Film Joker oleh Todd Phillips, 2019

Share jika Anda tertarik: