A child who born and raised by sadness, but can bring hope to people

Sang Korban pun Bisa Tertawa Sekarang

Suatu hari aku termenung. Aku mencoba mengingat- ingat apa saja yang dapat kuingat. Entah mengapa semua yang dapat kuingat hanyalah tangisan dan kesedihan, mungkin sedikit kegembiraan yang saking sedikitnya membuat hal itu sebagai kebahagiaan. Aku sebenarnya merasa cukup beruntung, mungkin banyak juga yang merasakan hal yang lebih parah dariku, dan keluarga yang masih lengkap. Namun saat teman- teman seusiaku dijemput pulang, aku hanya pulang naik becak langgananku. Aku masih ingat Beliau dan becaknya, yang menyembunyikan sakitnya saat mengantar dan menjemputku meski dalam hujan deras, sampai akhirnya Beliau dipanggil menghadap Sang Pencipta sebelum aku lulus sekolah dasar.

Aku sendiri berpikir aku sangat beruntung. Kediaman yang bagus, kebutuhan dapat tercukupi, uang sekolah yang jarang terlambat dibayar, les setiap harinya yang menghasilkan nilai dan prestasi yang lumayan (yang mungkin dapat mereka gunakan untuk pamer atau sekadar bahan obrolan) . Namun yang tidak diketahui karena memang sekeras mungkin kusembunyikan, setiap hari aku menangis. Menangis saat Mereka menelpon, menangis bahagia saat Ayahku berkata bisa bertemu, menangis saat Mereka bertengkar, dan menangis saat keluarga Ibuku memusuhi Ayahku yang sendirian tanpa ada yang sepihak dengannya. Aku memang bodoh, aku takut memperkeruh suasana, hanya bisa melihat semua itu tanpa bisa berkata apa- apa. Aku tahu semua itu, namun aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, aku sungguh bodoh.

Dari yang aku dengar memang mereka ditentang untuk bersama, semua yang dilakukan ayahku salah, memang ayahku bukan dari keluarga berada, bukan keluarga juragan seperti ibuku, dan hanya yatim piatu biasa. Aku tidak tahu apa- apa saat itu dan tanpa sadar sudah dipisahkan dari mereka berdua. Ini yang terbaik menurut nenekku, entah supaya mentalku tidak tambah hancur, atau untuk melindungi keinginan dan ego mereka sendiri, atau mungkin kehadiranku hanya sebagai sarana untuk menghibur nenek dan Almarhum kakekku saja, yang jelas sampai sekarang aku tidak tahu.

Aku merasa tumbuh sebagai anak yang hancur, yang bahkan aku sudah tidak peduli akan masalah mereka semua. Mungkin semua akan berpikir kenapa aku tidak peduli tapi yang ada dipikiranku, mereka juga tidak peduli padaku. Bayangkan sejak kecil kau selalu mendengar curhat dan masalah yang seharusnya dialami dan bisa mereka selesaikan sebagai orang yang “katanya sudah dewasa”. Yang ada dipikirankan memang hanyalah

Jika mereka peduli kepadaku, kepada anak mereka, maka mereka tidak akan melakukan semua hal itu.

Namun nampaknya mereka tidak peduli. Beruntung aku masih mempunyai akal budi sehingga tidak jatuh kepada tindakan kriminal. Namun aku merasa hidup dalam kesendirian. Saat inipun, sebanyak apapun aku mengenal dan berteman aku masih merasa sendiri, sepi, dan kadang menyalahkan keadaan. Tidak jarang juga aku selalu berpikir Sang Pencipta sangat tidak adil dan menakdirkanku dengan semua yang sudah aku alami sampai sekarang. Semua itu, menurutku adalah hal- hal bodoh yang aku sendiri menyesal pernah memikirkannya. 

Semuanya sudah berlalu, semuanya sudah tidak dapat dirubah. Mereka semua juga sudah menua, dan bagi mereka aku selamanya hanya anak kecil yang tak akan didengar, sekeras apapun kata- kataku. Sekarang aku hanya ingin hidup untuk masa depanku. Setidaknya, meski aku memulai hidup dengan menangis saat dilahirkan, aku ingin meninggalkan dunia dengan tertawa.

Share jika Anda tertarik: