Bagiku cinta itu kesetiaan, dan kesetiaan itu cinta. Mungkin hal ini berlawanan dengan pendapat teman- temanku yang bermimpi merasakan bermain dengan seluruh wanita cantik di dunia. Aku tidak menepis jika mereka berkata aku bodoh soal cinta, aku tidak peduli. Hidupku cukup sederhana, dan aku bahagia. Sebuah apartemen yang cukup untuk aku tempati berdua bersama istriku, orang yang paling aku cintai. Memang nasib belum mengijinkan kami memiliki buah hati, namun tidak apa. Aku cukup senang saat mendengar temanku mengeluh tentang dia dan istrinya yang terjaga setiap malam untuk merawat bayinya. Setidaknya aku merasa kapal kami ini sudah berlayar dengan lancar selama beberapa tahun kami bersama.
Hari ini telah malam, dan hujan sedang turun. Memang hari ini cukup berat sampai aku pulang hampir tengah malam. Aku lihat istriku sudah tidur, dan aku tidak ingin membangunkannya. Ini memang bukan pertama kalinya aku pulang sangat larut, sehingga aku tidak memaksanya untuk selalu menungguku. Dia juga punya pekerjaan esok hari. Sembari bersiap tidur, aku memandang ke jendela apartemenku yang penuh dengan embun karena hujan. Hujan selalu mengingatkanku saat hari aku pertama melihatnya. 6 tahun lalu di sebuah kapal perjalanan ke kota asalnya, saat aku melihatnya kebingungan karena ponselnya kehabisan baterai, dan dia hendak mengabari pamannya bahwa dia hampir sampai. Saat itu, aku coba tawarkan ponselku sambil sesekali kulihat matanya, tiba- tiba saja aku merasa bahwa dia adalah takdirku.
Bersama dengannya selama 6 tahun ini tidaklah mudah. Terutama sejak keluargaku tahu kalau ayahnya adalah seorang napi, yang meninggalkan dia dan ibunya tanpa jelas bagaimana kabarnya sampai sekarang. Semua tidak cukup sampai disitu, kebencian keluargaku juga memuncak sejak tahu demi menghidupi dia, ibunya juga menjadi wanita malam dan meninggal akibatnya. Namun bagiku itu bukan salahnya, dan aku tidak peduli hal itu. Aku merasa dia wanita yang kuat, mungkin jika aku berada di posisinya, aku tak akan sanggup. Keluargaku menentang pernikahan kami, dan tidak akan menganggapku apabila aku bersama dengannya. Saat itu tanpa pikir panjang aku keluar rumah, tanpa membawa apapun. Sungguh kenangan yang selalu membuatku tertawa setiap kali mengingatnya. Tiba- tiba aku juga teringat akan Almarhum paman istriku yang teramat baik hati, yang juga menampung kami sampai aku bisa membeli apartemen ini.
Hujan sudah tinggal gerimis, tanpa sadar waktu berlalu selagi aku melamun mengenang masa laluku. Sebuah getaran ponsel membuyarkan lamunanku, nampaknya ponsel istriku. Getaran itu cukup menggangguku sehingga aku mendekat untuk mematikannya. Paman, sebuah nama kontak yang nampaknya aneh, karena satu- satunya pamannya baru saja meninggal 2 bulan lalu. Tiba- tiba sebuah pesan muncul, “paman” ini mengiriminya sesuatu pesan.
“Hei, apa besok dia lembur lagi? nampaknya kamu kurang puas tadi, mungkin besok aku bawa obat kuat”.
Tidak butuh sedetik untuk pesan itu menguasai pikiranku, sekarang aku memandang wanita ini dengan jijik. Tanpa berpikir aku ambil bantal yang ia pakai dan menutup wajahnya. Nampaknya dia terbangun, dan sebentar berusaha melawan, namun tak lama dia sudah tidak bergerak lagi. Sesaat setelah itu aku menyadari semuanya, perubahan sikapnya beberapa minggu ini, aroma asing di kamar ini, dan beberapa pakaian pria yang bukan milikku. Semua terjadi begitu saja seperti membuka mataku yang selama ini tertutup. Aku sadar selama ini, cinta dan kesetiaanku membuat logikaku buta.
Sebuah Kisah, terinspirasi dari Puisi Loyalty, oleh Aleesha: http://guacle.site/loyalty