Aku melihat mereka, mereka yang diagung- agungkan oleh mayoritas orang. Semua orang ingin menjadi seperti mereka, dan para orang tua memaksa anaknya bergabung bersama mereka. Tapi sayang, yang kulihat hanya kawanan ternak. Mereka tak ubahnya hewan yang terpaksa mematuhi pemiliknya untuk mendapat makanan. Mereka patuh, sampai satu persatu ditumbalkan saat atasan membutuhkan. Mereka tak lebih dari itu. Memang ada diantara mereka yang berkualitas, jujur, dan kritis. Aku merasa aku salah satu dari segelintir mereka yang “bersih”. Kalian mungkin berpikir, ironi, tapi benar aku jadi salah satu dari mereka. Tidak jarang aku jijik dengan diriku sendiri. Jijik setiap kali aku melangkahkan kakiku ke gedung megah berwarna putih yang nampak bersih ini, jijik menerima upah yang ku sendiri tidak tahu darimana asalnya, jijik setiap kali atasanku mengajak pesta di sebuah hotel tanpa alasan yang jelas, tapi aku tidak pernah bergabung dengan mereka. Aku tahu alasan mereka melakukan itu semua, mereka hanya ingin hidup dan menikmatinya.
Seperti yang sudah aku bilang, aku berbeda dengan mereka. Aku selalu menolak halus setiap kali atasanku memberikan daftar pagu janggal padaku beserta sebuah amplop yang tak pernah kupedulikan isinya. Aku hanya tak ingin putra tersayangku melihat ayahnya dengan jaket oranye bergaris hitam, digiring menuju penjagalan. Seperti yang kalian duga, mereka memusuhiku. Hanya teman sekolahku yang selalu menghampiriku di jam istirahat, dan dia selalu menyarankanku untuk berbaur. Asal kalian tahu, dulu aku tidak seperti ini. Ada saat dimana aku masih bersama mereka, aku memang polos saat itu. Seorang pemuda yang masih bujangan, hanya menuruti amanah almarhum ibunya, untuk mencapai cita- cita ibunya yang tidak pernah kesampaian.
Namun semua berubah saat putraku lahir, bagiku dia seperti cahaya yang tiba- tiba menyadarkanku. Meski bukan kabar mengenakkan yang terjadi saat itu, namun saat dia lahir ponselku terus berdering dengan kabar bahwa atasan dan beberapa rekanku tertangkap OTT saat berpesta di sebuah kapal megah, lagian bodohnya mereka juga mengadakan acara di tempat mencolok seperti itu, jika hanya ingin kunjungan dinas. Beruntung saat itu aku sedang cuti panjang untuk merawat istriku yang sedang hamil tua. Namaku sama sekali tidak dibawa, karena memang aku tidak ada saat itu, alibiku kuat. Kelahiran putraku memang membawa keberuntungan bagiku, dan menyadarkan aku. Sejak itu aku mulai mencoba berpikir dan aku sadar semua yang kulakukan sampai sekarang itu salah. Namun apa daya, besarnya biaya bulanan, dan masa depan putra tersayangku membuatku tidak bisa keluar dari sini seenaknya.
Pagi itu tampak biasa saja, tidak ada yang berbeda, tidak ada yang aneh. Seperti biasa aku menuju ke tempat kerjaku pagi- pagi, saat semua masih sepi. Sebelum speaker mulai memberikan informasi untuk berkumpul melakukan apa yang mereka inginkan. Aku melihat pekerjaanku yang menumpuk tak beraturan dari kemarin. Memang ada alasan sehingga kemarin aku harus pulang cepat, sudah kubilang aku tidak seperti yang lain, yang bahkan pulang setelah makan siang. Seperti biasa sebuah amplop coklat terselip di tumpukan pekerjaanku, mereka masih mencoba menggodaku. Karena sudah terbiasa dengan muaknya aku coba berjalan untuk meletakkannya kembali ke meja atasanku, mungkin hari ini lagi- lagi akan ada pendisiplinan untukku. Selagi berjalan ponselku berbunyi, dari istriku ternyata. Menurutku cukup aneh istriku meneleponku jam segini, saat biasanya dia mengantar putra kami kesekolah. Ketika kuangkat bukan suaranya yang kudengar, melainkan suara dari pria yang tidak kukenal.
“Ini dengan suaminya? Pak, istri dan anak Anda baru kena tabrak lari, saya dan warga sekitar sudah bawa ke RS terdekat, tpi butuh operasi Pak”. Aku hanya diam, aku tidak tahu apa yang aku harus lakukan dan katakan. Ahirnya, kuucapkan terimakasih sebesar- besarnya kepada Bapak itu, sambil berlari dengan amplop itu masih ditanganku, ke rumah sakit yang diinfokan kepadaku.