Dia terduduk sendiri di pojok ruangan. Kelihatannya, semua tidak peduli padanya bahkan tidak mengganggapnya ada. Namun gadis itu sudah nampak tidak peduli, dia mencoba fokus mengerjakan tugas yang baru saja diberikan tadi, sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang sudah retak. Sesekali, dia melihat jam dinding tua yang masih bergerak pelan, sampai akhirnya bel berbunyi tanda istirahat akan berakhir. Tak lama kemudian beberapa gadis mendekatinya, salah seorang diantara mereka menarik tugas yang telah diselesaikannya. Dia hanya bisa diam, dia tahu melawan hanya menambah masalah baginya. Seorang guru masuk saat semua itu terjadi. Guru itu melihatnya, namun tak sanggup menghentikan putri sang donatur sekolah, dirinya sudah bersusah payah untuk bisa diangkat menjadi kepala sekolah.
Pelajaran berlangsung seperti biasa, murid- murid tertidur dan beberapa saling mengobrol. Guru itu melihatnya, namun dia teringat kasus yang menimpa kepala sekolah terdahulu dan hanya diam. Hanya gadis berkacamata retak tadi yang memperhatikan guru itu, sambil menulis semuanya di buku catatannya yang penuh dengan sobekan. Dia melakukan itu semua meski dia tahu, “temannya” akan menghampirinya dan menyobek buku catatannya untuk dibawa pulang. Sekali pernah gadis itu melapor kepada orang tuanya. Tapi jelas orang tuanya juga tidak bisa melakukan apapun kepada putri tunggal bos di pabrik mereka bekerja. Orang tuanya hanya bisa memintanya untuk bersabar. Dia pun sadar pindah sekolah juga tidak mungkin dia minta, karena dia sadar betapa susah orang tuanya untuk menyekolahkannya sekarang.
Gadis itu bukannya tidak bisa berteman, ada waktu dimana “teman” sekelasnya masih mau bermain bersamanya, semua berjalan baik- baik saja baginya sebelum pembagian raport akhir tahun. Saat itu diumumkan bahwa sang gadis berkacamata retak menjadi juara satu di angkatannya. Suatu prestasi yang membuat putri donatur sekolah disiksa habis- habisan oleh kedua orang tuanya, karena kalah dari putri buruh upahannya. Jelas ini yang membuat putri donatur sekolah membenci dan memusuhinya, dan sang putri punya segalanya untuk melakukannya. Namun meski segala cara dilakukan, sang gadis berkacamata retak masih juga juara satu, dan itu membuatnya semakin disiksa.
Semua guru, bahkan kepala sekolah dan orang tuanya tahu kan hal ini, namun sayangnya juga tidak dapat melakukan apapun. Mereka semua hanya bisa diam, walau sang gadis berkacamata retak itu menangis setiap malamnya. Waktu berlalu dengan sangat cepat, dan syukurlah sang gadis berkacamata retak ini dapat melewati segalanya. Sekarang, setidaknya dia tidak bisa merasakan beban lagi, dia sudah melayang- layang diatas sana mungkin dengan tersenyum, setelah dia mencoba terbang dari puncak tertinggi. Meski kedua orangtuanya terkadang menangis, semua bisa dianggap berakhir bahagia. Bahkan kabar terakhirnya sang putri donatur berhasil meraih juara pertama yang dinginkannya, dan hidup bahagia di luar negeri dengan kekayaan orang tuanya. Sebuah cerita biasa.