Kami berharap semua ini berakhir. kata yang sama yang kudengar setiap harinya dari kawan- kawanku. Beberapa dari mereka sekarang hanya bisa pasrah saat tangan kakinya tak bisa dirasakan lagi dan beberapa yang lain sudah mendahuluiku bertemu Sang Pencipta.
“Jika memang Sang Pencipta itu ada, aku hanya berharap semua yang kulakukan benar”. Kata terakhir seorang kawanku yang tak lama kemudian berlari menerjang rentetan peluru hanya untuk sekedar memberikan kesempatan untuk kami lari. Bagi kami lari bukanlah tindakan pengecut, kami hanya ingin hidup dan kembali bertemu keluarga kami.
Semua yang ada disini pasti punya alasan. Entah yang datang karena paksaan surat yang tak pandang bulu, entah yang datang demi membalaskan dendam orangtuanya yang dibantai didepan matanya, juga ada yang ingin dianggap pahlawan dan dijamu harta serta wanita. Banyak dari teman- temanku yang juga memimpikan kehidupan seperti para atasan kami, mereka yang memiliki lencana di seluruh tubuh mereka. Mereka yang berdiam di kemah mereka dengan perut tambunnya, dan pura- pura menangis sebentar sambil memberi pidato singkat, setiap dibacakan laporan jumlah korban jiwa karena keputusan mereka. Namun lebih banyak dari mereka yang sekarang tinggal dikenang tanpa alasan mereka terwujud. Mereka yang namanya hanya terucap pada daftar nama korban, mereka yang jenazahnya telah membusuk di tanah lawan, dan mereka yang tak kukenal namun kuangkat jenazahnya dan kukuburkan.
Jika kau bertanya kepada kami tentang cara berperang, sebenarnya sederhana saja. Kuambil nyawa mereka, sehingga mereka tak bisa mengambil nyawaku. Beberapa kawanku bahkan menikmati saat- saat itu. Adrenalin memenuhi diri mereka sejak menerjang bersama terbitnya matahari, sampai mereka menangisi saudara- saudara yang berpulang tiap malam hari. Bagi kami, sungguh tidak ada hari yang tenang. Kadang saat aku menghabiskan waktu untuk merenung, aku dihantui wajah- wajah itu. Seperti wajah seorang anak yang diam menatapku, dan wajah ayahnya yang kutebas saat hendak menerjangku. Anak itu hanya diam, namun aku tahu apa yang dia pikirkan. Aku pernah berada di posisinya dulu. Mungkin, sekarang anak itu sudah tumbuh sepertiku hidup dalam dendam pada pembunuh ayahnya. Aku yakin akan itu, karena berada di neraka ini belasan tahun cukup untuk mengubah seorang korban menjadi pembunuh penuh dendam. Aku juga teringat wajah ibu tua yang memohon kepadaku untuk dibunuh, sambil terus memandangi wajah anaknya yang tewas kutembak. Aku hanya ingin membela diri, dan akhirnya kukabulkan permohonan ibu tua itu. Terlambat jika kalian menyuruhku berpikir anak itu hanya ingin melindungi ibunya. Perang tidak mengenal alasan.
Jika kau bertanya kenapa kami tidak segan membunuh, itu semua bukan keinginan kami sendiri. Itu juga pembelaan kawan- kawanku bahwa mereka membunuh karena perintah, dan menembak karena taat. Kalian mungkin berpikir bahwa kami hanya kumpulan orang bodoh, yang meninggalkan keluarga hanya untuk menjadi tumbal bagi penguasa kami. Bagiku, itu tidak sepenuhnya salah. Bahkan kawanku yang berbadan paling kekar, pernah sesekali menangis kenapa dia harus ada disini. Aku mencoba memahaminya, dia pernah bercerita tidak pernah melihat rupa anaknya. Istrinya hamil tua saat dia berpamitan untuk menunaikan kewajibannya. Aku yakin istrinya tidak rela, namun tidak bisa apa- apa saat surat perintah dikirim ke rumaahnya. Setiap hari kawanku ini hanya berdoa istri dan anaknya juga baik- baik saja.
Jika mungkin kalian bertanya alasanku sekarang, aku ingin bilang ibuku. Bagi beliau, hanya ada kenangan pahit jika kau mengatakan perang. Hanya ada saat baginya melihat ayahku tergeletak tak bernyawa sambil dia menutup mataku. Hanya darah ayahku yang kuingat dari sela- sela jarinya. Aku juga masih ingat pecah tangisnya saat surat datang kerumah, untuk memintaku saat usiaku cukup. Mungkin saat itu dia berpikir kemana waktu selama ini pergi. Baginya hanya ada saat- sata seperti itu.
“Semua akan kubuat lebih indah bagimu, Ibu” kata- kata terakhir yang kuucap padanya saat itu, yang membuatnya menahan tangisnya untuk sementara. Jika kalian bertanya lagi apa yang kuinginkan dari semua ini, aku hanya ingin melihat dia tersenyum sekali lagi di dunia yang lebih damai. Maka, bolehkah aku berjuang?